KARAKTERISTIK
SEORANG REMAJA DAN MANFAATNYA MENGENAL REMAJA BAGI GURU SEKOLAH MENENGAH
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagi
sebagian besar individu yang baru beranjak dewasa bahkan yang sudah melewati
usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka.
Kenangan terhadap saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan,
sebaik atau seburuk apapun saat itu. Sementara banyak orangtua yang memiliki
anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Banyak
konflik yang dihadapi oleh orangtua, para guru dan remaja itu sendiri. Banyak
orangtua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi dengan
ketat sebab di mata orangtua, para anak remaja mereka masih belum siap
menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan
internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri
dari pengaruh orangtua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah
waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa.
Oleh sebab
itu sangat penting sekali mengetahui karakteristik-karakteristik remaja.
Terlebih bagi seorang guru yang berperan sebagai pengganti orang tua bagi para
remaja saat berada di sekolah. Karakteristik remaja yang identik dengan
kenakalan remaja, mengharuskan kita untuk mengetahui dan memahami karakteristik
seorang remaja. Oleh sebab itu pada makalah ini akan dijelaskan tentang
karakteristik seorang remaja dan manfaatnya mengenal remaja bagi guru sekolah
menengah.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dari remaja itu
sendiri?
2.
Apa yang dimaksud dengan masa
remaja?
3.
Apa saja karakteristik seorang
remaja?
4.
Bagaimana karakteristik pertumbuhan
dan perkembangan seorang remaja?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui arti dari remaja itu
sendiri.
2.
Bagaimana masa remaja berlangsung.
3.
Mengetahui karakteristik seorang
remaja.
4.
Mengetahui apa saja karakteristik
pertumbuhan dan perkembangan seorang remaja.
BAB II.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Remaja
Kata remaja berasal dari bahasa
latin yaitu adolescent yang berarti to grow atau to grow maturity. Remaja
adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh
pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat terjadi pada tubuh remaja
diluar dan didalam tersebut membawa akibat yang tidak sedikit terhadap
perubahan sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja. Remaja atau
adolescent adalah periode perkembangan selama dimana individu mengalami
perubahan dari masa selama kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia
13-20 tahun. Istilah adoscelent biasanya menunjukkan maturasi psikologis
individu, ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi mungkjin dapat
terjadi. Perubahan hormonal pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada
orang muda, dan perkembangan mental mengakibatkan untuk menghipotesis dan
berhadapan dengan abstraksi.
Usia remaja
adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan
fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial, dan pencapaian (Fagan, 2006).
Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja
bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial.
Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan
karakteristik yang ada pada diri remaja.
Masa remaja
merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun
peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Masa remaja ini sering dianggap
sebagai masa peralihan, dimana saat-saat ketika anak tidak mau lagi
diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia
belum dapat dikatakan orang dewasa. Menurut Anna Freud (dalam Yusuf. S, 2004)
masa remaja juga dikenal dengan masa strom and stress dimana terjadi pergolakan
emosi yang diiringi pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikis yang
bervariasi. Pada masa ini remaja mudah terpengaruh oleh lingkungan dan sebagai
akibatnya akan muncul kekecewaan dan penderitaan, meningkatnya konflik dan
pertentangan, impian dan khayalan, pacaran dan percintaan, keterasinagan dari
kehidupan dewasa dan norma kebudayaan (Gunarsa, 1986).
Masa remaja
merupakan masa untuk mencari identitas/jati diri. Individu ingin mendapat
pengakuan tentang apa yang dapat ia hasilkan bagi orang lain. Apabila individu
berhasil dalam masa ini maka akan diperoleh suatu kondisi yang disebut identity
reputation (memperoleh identitas). Apabila mengalami kegagalan, akan mengalami
Identity Diffusion (kekaburan identitas). Masa remaja termasuk masa yang sangat
menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada
psikis dan fisiknya.
Fase-fase
masa remaja (pubertas) menurut Monks dkk (2004) yaitu antara umur 12 – 21
tahun, dengan pembagian 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 15-18 tahun
termasuk masa remaja pertengahan, 18-21 tahun termasuk masa remaja akhir.
2.2 Karakteristik
Remaja
Karakteristik
pertumbuhan dan perkembangan remaja mencakup 3 hal yaitu:
1.
Transisi Biologis
2.
Transisi Kognitif
3.
Transisi Sosial
2.2.1 Transisi Biologis
Menurut
Santrock (2003: 91) perubahan fisik yang
terjadi pada remaja terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya
tinggi dan berat badan serta kematangan
sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang
terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang
dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya
alat-alat reproduksi (ditandai dengan
haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual
sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52).
Selanjutnya, Menurut Muss (dalam Sunarto & Agung Hartono,
2002: 79) menguraikan bahwa perubahan
fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu; pertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi,
anggota-anggota badan menjadi panjang,
tumbuh payudara.Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan, mencapai
pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu kemaluan
menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh
bulu-bulu ketiak.
Sedangkan pada anak laki-laki peubahan yang terjadi antara
lain; pertumbuhan tulang-tulang, testis
(buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi
(keluarnya air mani), bulu kemaluan
menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh
rambut-rambut halus diwajaah (kumis,
jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan
gelap, dan tumbuh bulu dada.
Pada dasarnya perubahan fisik remaja disebabkan oleh
kelenjar pituitary dan kelenjar hypothalamus. Kedua kelenjar itu masing-masing
menyebabkan terjadinya pertumbuhan
ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta
pertumbuhan alat kelamin utama dan kedua pada remaja (Sunarto & Agung
Hartono, 2002: 94
2.2.2
Transisi Kognitif
Menurut
Piaget (dalam Santrock, 2002: 15)
pemikiran operasional formal berlangsung
antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih abstrak,
idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa remaja terdorong
untuk memahami dunianya karena tindakan
yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu
gagasan dengan gagasan lain. Mereka
bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka
untuk menyertakan gagasan baru karena
informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam.
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih
nyata pemikiran opersional formal
bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak
misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. Remaja juga lebih
idealistis dalam berpikir seperti memikirkan
karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara logis yang
mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun
berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang
terpikirkan.
Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari
lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya
dalam perkembangan kognitif remaja.
2.2.3
Transisi Sosial
Santrock
(2003: 24) mengungkapkan bahwa pada
transisi sosial remaja mengalami perubahan
dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi,
dalam kepribadian, dan dalam peran dari
konteks sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya,
perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja
dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional
dalam perkembangan remaja. John Flavell
(dalam Santrock, 2003: 125) juga menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk
memantau kognisi sosial mereka secara
efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka.
Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada
masa kanak-kanak dan selanjutnya pada
masa remaja. Hubungan sosial anak pertama-tama
masing sangat terbatas dengan orang
tuanya dalam kehidupan keluarga, khususnya dengan ibu dan
berkembang semakin meluas dengan anggota
keluarga lain, teman bermain dan teman
sejenis maupun lain jenis (dalam Rita Eka Izzaty dkk, (2008: 139). Berikut ini akan dijelaskan mengenai hubungan
remaja dengan teman sebaya dan orang
tua:
1. Hubungan
dengan teman sebaya
Menurut
Santrock (2003: 219) teman sebaya
(peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat
kedewasaan yang sama. Jean Piaget dan Harry
Stack Sullivan (dalam Santrock, 2003: 220) mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja mulai belajar mengenai
pola hubungan yang timbal balik dan
setara dengan melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti
minat dan pandangan teman sebaya dengan
tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang
berlangsung. Sullivan beranggapan bahwa
teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Mengenai
kesejahteraan, dia menyatakan bahwa
semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih saying (ikatan yang
aman), teman yang menyenangkan,
penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan seksual.
Ada beberapa beberapa strategi yang tepat untuk mencari
teman menurut Santrock (2003: 206) yaitu
:
a.
Menciptakan interaksi sosial yang baik dari mulai
menanyakan nama, usia, dan aktivitas
favorit.
b.
Bersikap menyenangkan, baik dan penuh perhatian.
c.
Tingkah
laku yang prososial seperti jujur, murah
hati dan mau bekerja sama.
d.
Menghargai diri sendiri dan orang lain.
e.
Menyediakan dukungan sosial seperti memberikan
pertolongan, nasihat, duduk berdekatan,
berada dalam kelompok yang sama dan menguatkan
satu sama lain dengan memberikan pujian.
Ada
beberapa dampak apabila terjadi
penolakan pada teman sebaya. Menurut Hurlock (2000: 307)
dampak negatif dari penolakan tersebut adalah :
a.
Akan
merasa kesepian karena kebutuhan social
mereka tidak terpenuhi.
b. Anak merasa tidak bahagia
dan tidak aman.
c. Anak mengembangkan konsep diri yang tidak
menyenangkan, yang dapat menimbulkan penyimpangan kepribadian.
d.
Kurang memiliki pengalaman belajar yang dibutuhkan
untuk menjalani proses sosialisasi.
e.
Akan merasa sangat sedih karena tidak memperoleh
kegembiraan yang dimiliki teman sebaya
mereka.
f.
Sering mencoba memaksakan diri untuk memasuki
kelompok dan ini akan meningkatkan penolakan kelompok
terhadap mereka semakin memperkecil peluang mereka untuk
mempelajari berbagai
keterampilan sosial.
g.
Akan
hidup dalam ketidakpastian tentang
reaksi social terhadap mereka, dan ini akan menyebabkan mereka cemas, takut, dan sangat peka.
h.
Sering melakukan penyesuaian diri secara berlebihan,
dengan harapan akan meningkatkan penerimaan sosial
mereka.
Sementara
itu, Hurlock (2000: 298) menyebutkan
bahwa ada beberapa manfaat yang
diperoleh jika seorang anak dapat diterima dengan baik. Manfaat tersebut
yaitu:
a.
Merasa senang dan aman.
b. Mengembangkan
konsep diri menyenangkan karena orang lain mengakui mereka.
c. Memiliki kesempatan untuk
mempelajari berbagai pola prilaku yang diterima secara sosial dan keterampilan sosial yang membantu kesinambungan mereka
dalam situasi sosial.
d. Secara mental bebas untuk
mengalihkan perhatian meraka ke luar dan untuk menaruh minat pada orang atau sesuatu di luar diri mereka.
e. Menyesuaikan diri terhadap
harapan kelompok dan tidak mencemooh tradisi sosial.
2. Hubungan
dengan orang tua
Menurut
Steinberg (dalam Santrock, 2002: 42)
mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan
orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini
dapat disebabkan oleh berapa faktor
yaitu perubahan biologis pubertas,
perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealisme dan
penalaran logis, perubahan sosial yang
berfokus pada kemandirian dan identitas,
perubahan kebijaksanaan pada orang
tua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak orang tua dan remaja.
Collins
(dalam Santrock, 2002: 42) menyimpulkan bahwa
banyak orang tua melihat remaja mereka
berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang tidak mau menurut,
melawan, dan menantang standar-standar orang tua. Bila ini terjadi, orang tua cenderung
berusaha mengendalikan dengan keras dan member
lebih banyak tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orang tua.
Dari
uraian tersebut, ada baiknya jika kita
dapat mengurangi konflik yang terjadi dengan orang tua dan remaja. Berikut ada
beberapa strategi yang diberikan oleh Santrock,
(2002: 24) yaitu : 1) menetapkan aturan-aturan
dasar bagi pemecahan konflik. 2) Mencoba mencapai suatu pemahaman timbale balik. 3) Mencoba melakukan corah
pendapat (brainstorming). 4) Mencoba
bersepakat tentang satu atau lebih pemecahan masalah. 5) Menulis kesepakatan. 6) Menetapkan waktu bagi suatu
tindak lanjut untuk melihat kemajuan
yang telah dicapai.
Berdasarkan
uraian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa proses perkembangan remaja
meliputi masa transisi biologis yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik. Transisi kognitif yaitu
perkembangan kognitif remaja pada lingkungan
sosial dan juga proses sosioemosional dan yang terakhir adalah masa transisi sosial yang meliputi
hubungan dengan orang tua, teman sebaya,
serta masyarakat sekitar.
2.3 Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan
Remaja
2.3.1 Pertumbuhan fisik
Pada masa remaja, pertumbuhan fisik
mengalami perubahan lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa
dewasa. Pada fase ini remaja memerlukan asupan gizi yang lebih, agar
pertumbuhan bisa berjalan secara optimal. Perkembangan fisik remaja jelas
terlihat pada tungkai dan tangan, tulang kaki dan tangan, serta otot-otot tubuh
berkembang pesat.
2.3.2 Perkembangan seksual
Terdapat perbedaan tanda-tanda dalam
perkembangan seksual pada remaja. Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak
laki-laki diantaranya alat reproduksi spermanya mulai berproduksi, ia mengalami
masa mimpi yang pertama, yang tanpa sadar mengeluarkan sperma. Sedangkan pada
anak perempuan, bila rahimnya sudah bisa dibuahi karena ia sudah mendapatkan
menstruasi yang pertama.
Terdapat
ciri lain pada anak laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki pada lehernya
menonjol buah jakun yang bisa membuat nada suaranya pecah; didaerah wajah,
ketiak, dan di sekitar kemaluannya mulai tumbuh bulu-bulu atau rambut; kulit
menjadi lebih kasar, tidak jernih, warnanya pucat dan pori-porinya meluas. Pada
anak perempuan, diwajahnya mulai tumbuh jerawat, hal ini dikarenakan produksi
hormon dalam tubuhnya meningkat. Pinggul membesar bertambah lebar dan bulat
akibat dari membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya lemak bawah kulit.
Payudara membesar dan rambut tumbuh di daerah ketiak dan sekitar kemaluan.
Suara menjadi lebih penuh dan merdu.
Pada saat
seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama
pada remaja putri ataupun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis
dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak
tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.
Pada masa pubertas, hormon seseorang
menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau
gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1)
Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak
perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan
progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing
Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH)
merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari
hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak
perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya
sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang,
dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik
lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik
mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka
pada dunia remaja.
2.3.3 Cara berfikir kausalitas
2.3.3 Cara berfikir kausalitas
Hal ini menyangkut tentang hubungan
sebab akibat. Remaja sudah mulai berfikir kritis sehingga ia akan melawan bila
orang tua, guru, lingkungan, masih menganggapnya sebagai anak kecil. Mereka
tidak akan terima jika dilarang melakukan sesuatu oleh orang yang lebih tua
tanpa diberikan penjelasan yang logis. Misalnya, remaja makan didepan pintu,
kemudian orang tua melarangnya sambil berkata “pantang”. Sebagai remaja mereka
akan menanyakan mengapa hal itu tidak boleh dilakukan dan jika orang tua tidak
bisa memberikan jawaban yang memuaskan maka dia akan tetap melakukannya.
Apabila guru/pendidik dan oarang tua tidak memahami cara berfikir remaja,
akibatnya akan menimbulkan kenakalan remaja berupa perkelahian antar pelajar.
Perkembangan
kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan
kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan
operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para
remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah
yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian
rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif
pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir
secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir
multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa
adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan
pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa
lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan
rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja
mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara
berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang
dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif
operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan
sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih
sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini
bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak
menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian
pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan
oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai
anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas
perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah
harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah
menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah
dan mencari solusi terbaik.
2.3.4 Emosi yang meluap-meluap
Emosi pada remaja masih labil,
karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Mereka belum bisa mengontrol
emosi dengan baik. Dalam satu waktu mereka akan kelihatan sangat senang sekali
tetapi mereka tiba-tiba langsung bisa menjadi sedih atau marah. Contohnya pada
remaja yang baru putus cinta atau remaja yang tersinggung perasaannya. Emosi
remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang
realistis. Saat melakukan sesuatu mereka hanya menuruti ego dalam diri tanpa
memikirkan resiko yang akan terjadi.
2.3.5 Perkembangan Sosial
2.3.5 Perkembangan Sosial
Sebagai makhluk sosial, individu
dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan
aturan atau norma yang berlaku.
Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.
Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.
Keterampilan
sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting manakala anak
sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja
individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh
teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Kegagalan remaja
dalam menguasai keterampilan-keterampilan sosial akan menyebabkan dia sulit
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa
rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang
normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan
yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja,
tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.
Berdasarkan kondisi
tersebut diatas maka amatlah penting bagi remaja untuk dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan
sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Permasalahannya adalah bagaimana
cara melakukan hal tersebut dan aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan.
Salah satu
tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase
perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki keterampilan
sosial (sosial skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan
sehari-hari. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan
berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri
& orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi
atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma
dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh
remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu
mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal. Jadi tidak mengherankan jika
pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari ingkungannya dan berusaha
mendapatkan status atau peranan, misalnya mengikuti kegiatan remaja dikampung
dan dia diberi peranan dimana dia bisa menjalankan peranan itu dengan baik.
Sebaliknya jika remaja tidak diberi peranan, dia akan melakukan perbuatan untuk
menarik perhatian lingkungan sekitar dan biasanya cenderung ke arah perilaku
negatif.
Salah satu
pola hubungan sosial remaja diwujudkan dengan membentuk satu kelompok. Remaja
dalam kehidupan sosial sangat tertarik pada kelompok sebayanya sehingga tidak
jarang orang tua dinomorduakan, sedangkan kelompoknya dinomorsatukan.
Contohnya, apabila seorang remaja dihadapkan pada suatu pilihan untuk mengikuti
acara keluarga dan berkumpul dengan teman-teman, maka dia akan lebih memilih untuk
pergi dengan teman-teman.
Pola hubungan sosial remaja lain
adalah dimulainya rasa tertarik pada lawan jenisnya dan mulai mengenal istilah
pacaran. Jika dalam hal ini orang tua kurang mengerti dan melarangnya maka akan
menimbulkan masalah sehingga remaja cenderung akan bersikap tertutup pada orang
tua mereka. Anak perempuan secara biologis dan karakter lebih cepat matang
daripada anak laki-laki.
2.3.6 Perkembangan Moral
2.3.6 Perkembangan Moral
Masa remaja adalah periode dimana
seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot
Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri
dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan
mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja
tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang
diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan
keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif
lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar
dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan
kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di
luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa
ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain.
Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia
terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan
berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang
mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu
merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan”
yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap
"pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama
ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak
diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.
Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan
korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam
suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi
sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi
sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan
remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua
atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau
pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan
sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan
orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari
hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan
memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa
berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu
memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja
tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua
dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru”
memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan
oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
2.3.7 Perkembangan Kepribadian
Secara umum penampilan sering
diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya
tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu mengambarkan pribadi yang sebenarnya
(bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk
tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang
memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Disinilah pentingnya
orangtua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat
orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan.
2.4
Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
Ada
sejumlah karakteristik menonjol dari perkembangan sosial remaja, yaitu sebagai
berikut:
2.4.1 Berkembangnya kesadaran akan kesunyian dan dorongan
akan pergaulan
Masa remaja
bisa disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja hubungan sosial
semakin tampak jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan
remaja berusaha mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain
atau berusaha mencari pergaulan. Penghayatan kesadaran akan kesunyian yang
mendalam dari remaja merupakan dorongan pergaulan untuk menemukan pernyataan
diri akan kemampuan kemandiriannya. Langeveld (Simanjuntak dan Pasaribu, 1984 :
152) berpendapat bahwa kemiskinan akan hubungan atau perasaan kesunyian remaja
disertai kesadaran sosial psikologis yang mendalam yang kemudian menimbulkan
dorongan yang kuat akan pentingnya pergaulan untuk menemukan suatu bentuk
sendiri.
2.4.2 Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial
Ada
dua kemungkinan yang ditempuh oleh remaja ketika berhadapan dengan nilai-nilai
sosial tertentu, yaitu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap
pada pendirian dengan segala akibatnya. Ini berarti bahwa reaksi terhadap
keadaan tertentu akan berlangsung menurut norma tertentu pula. Bagi remaja yang
idealis dan memiliki kepercayaan penuh akan cita-citanya, menuntut norma-norma
sosial yang mutlak meskipaun segala sesuatu yang telah dicobanya gagal.
Sebaliknya, bagi remaja yang bersikap pasif terhadap keadaan akan cenderung
menyerah atau bahkan apatis.
2.4.3 Meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis
Remaja
sangat sadar akan dirinya tentang bagaimana pandangan lawan jenis mengenai
dirinya. Dalam konteks ini, Kublen (Simanjuntak dan Pasaribu, 1984 : 153)
bahkan menegaskan bahwa: the social interest of adolescent are essentially sex
social interest. Oleh sebab itu, masa remaja seringkali disebut juga sebagai
masa biseksual. Meskipun kesadaran akan lawan jenis ini berhubungan dengan
perkembangan jasmani, tetapi sesungguhnya yang berkembang secara dominan
bukanlah kesadaran jasmani yang berlainan, melainkan tumbuhnya ketertarikan
terhadap jenis kelamin yang lain. Hubungan sosial yang tidak terlalu
menghiraukan perbedaan jenis kelamin pada masa-masa sebelumnya, kini beralih ke
arah hubungan sosial yang dihiasi perhatian terhadap perbedaan jenis kelamin.
2.4.4 Mulai kecenderungan memilih karier tertentu
Karakteristik
berikutnya sebagaimana dikatakan oleh Kuhlen bahwa ketika sudah memasuki masa
remaja akhir, mulai tampak kecenderungan mereka untuk memilih karier tertentu
meskipun dalam pemilihan karier tersebut masih mengalami kesulitan (Simanjuntak
dan Pasaribu, 1984). Ini wajar karena pada orang dewasa pun kerap kali masih
terjadi perubahan orientasi karier dan kembali berusaha menyesuaikan diri
dengan karier barunya.
2.5 Manfaat Mengenal Remaja Bagi Guru Sekolah
Menengah
Pandangan
konstruktivisme tentang pembelajaran, maka kehadiran guru dan murid di ruang
kelas lebih dari sekadar mengajar (guru) dan belajar (murid) dalam pengertian
yang dipahami selama ini. Menurut pandangan lama, “mengajar, berimplikasi
dengan “belajar”, siswa belajar kalau guru mengajar: Artinya, dalam kegiatan
belajar-mengajar guru lebih mengambil posisi sebagai produsen, karenanya
bersifat aktif, sedangkan murid mengambil posisi sebagai konsumen karenanya
bersifat pasif. Dalam pengertian ini, mengajar lebih dipandang sebagai, upaya
untuk memberikan informasi atau upaya memindahkan pengetahuan dari guru kepada
murid.
Sebaliknya, menurut pandangan konstruktivisme,
mengajar merupakan kegiatan yang mengondisikan sehingga memungkinkan
berlangsungnya peristiwa belajar. Mengajar berarti bagaimana guru membelajarkan
murid. Dalam pengertian ini, guru belum dikatakan mengajar kalau siswa belum
belajar: Mirip dengan kegiatan jual-beli, kegiatan menjual baru berlangsung
kalau ada kegiatan memberi. Singkatnya, sebagaimana dikemukakan oleh William H.
Burton, mengajar merupakan upaya memberikan stimulus, bimbingan, pengarahan dan
dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar. Mengajar berarti
mengorganisasi aktivitas siswa dan memberi fasilitasi belajar, sehingga mereka
dapat belajar dengan baik.
Dengan demikian, untuk dapat tampil menjadi
guru yang ideal, memang tidak cukup hanya mengandalkan penguasaan atas materi
atau ilmu yang akan diajarkan. Sebab, dalam konteks pembelajaran, bahan atau
materi pelajaran hanya merupakan perangsang tindakan guru dalam memberikan
dorongan belajar yang diarahkan pada pencapaian tujuan belajar. Karena itu,
seorang guru harus membekali diri dengan sejumlah pengetahuan dan keterampilan
lain yang sangat diperlukan dalam keberhasilan pelaksanaan tugasnya. Ini adalah
penting karena guru dalam menjalani profesinya tidak berhadapan dengan benda
mati, melainkan berhadapan dengan manusia yang disebut dengan peserta didik.
Peserta didik yang dihadapi oleh guru tersebut adalah individu- individu yang
unik dan berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka hadir dan berkumpul di ruang
kelas dari berbagai latar belakang, baik sosial, kultural, strata ekonomi yang
berbeda. Mereka juga datang sebab membawa corak kepribadian, karakteristik,
tingkah laku, minat, bakat, kecerdasan dan berbagai tingkat perkembangan
lainnya yang berbeda-beda pula.
Untuk
dapat menghadapi dan membelajarkan peserta didik dengan berbagai latar
belakang, corak kepribadian, dan tingkat perkembangan yang beragam tersebut,
maka guru perlu mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik,
motivasinya, latar belakang akademis, sosial-ekonominya dan sebagainya.
Kesiapan guru mengenal karakteristik peserta didik dalam pembelajaran merupakan
modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya
pelaksanaan pembelajaran (Syaiful Sagala, 2000).
Adanya keharusan guru mengenal karakteristik peserta didik tersebut,
berarti guru harus menguasai dan mendalami psikologi perkembangan peserta
didik, yakni sebuah disiplin ilmu yang secara khusus membahas tentang
aspek-aspek atau karakteristik perkembangan peserta didik. Dengan bekal
pengetahuan tentang berbagai aspek perkembangan peserta didik ini, diharapkan
guru dapat merancang dan melaksanakan program pembelajaran yang sesuai dengan
taraf perkembangan peserta didik yang dihadapinya. Pengetahuan tentang
psikologi perkembangan peserta didik juga memungkinkan guru untuk memahami apa
yang dibutuhkan, diminati, dan yang hendak dicapai oleh peserta didik, serta
dapat memberikan pelayanan yang bersifat individual bagi mereka yang mengalami
kesulitan.
2.5.1 Pengertian Psikologi Perkembangan peserta
Didik
Dewasa ini psikologi merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat besar
manfaatnya bagi kehidupan manusia. Memang, semua disiplin ilmu ada manfaatnya,
tetapi tidak ada suatu disiplin ilmu seperti psikologi yang mampu menyentuh
hampir seluruh dimensi kehidupan manusia. Betapa tidak, teori-teori dan riset
psikologi telah digunakan dan diaplikasikan secara luas dalam berbagai lapangan
kehidupan, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan dan proses pembelajaran,
industri, perdagangan, sosial-kemasyarakatan, politik, kesehatan, dan bahkan
agama. Karena itu, tidak berlebihan kiranya kalau Bapak prof. Dr. H. Kadirun
Yahya, M.sc., seorang ahli tasawuf (dalam Hanna Djumhana Bastaman, 1997),
menyatakan bahwa “psikologi di mana saja terpakai, walaupun engkau sebagai apa
saja di atas dunia ini ....”
Psikologi menempatkan manusia sebagai objek kajiannya. Manusia sendiri
adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Menyadari posisi manusia yang
demikian, maka secara lebih jelas ,yang menjadi objek kajian psikologi modern
adalah manusia serta aktivitas-aktivitas mentalnya dalam interaksi dengan
lingkungan. Interaksi dengan lingkungannya mencakup wilayah yang sangat luas
dan beragam. Sesuai dengan keragaman wilayah interaksi manusia dengan
lingkungan itu, maka muncullah cabang-cabang psikologi.
Secara umum, psikologi dapat dibedakan menjadi dua cabang, yaitu
psikologi teoretis dan psikologi terapan. Psikologi teoretis dapat pula
dibedakan atas dua bagian, yaitu psikologi umum dan psikologi khusus.
Psikologi umum adalah psikologi teoretis yang mempelajari
aktivitas-aktivitas mental manusia yang bersifat umum dalam rangka mencari
dalil-dalil umum dan teori-teori psikologi. Sedangkan psikologi khusus adalah
psikologi teoretis yang menyelidiki segi-segi khusus aktivitas mental manusia.
Psikologi khusus ini terdiri dari:
a.
Psikologi perkembangan, mengkaji
perkembangan tingkah laku dan aktivitas mental manusia sepanjang rentang
kehidupannya, mulai dari masa konsepsi hingga meninggal dunia.
b.
Psikologi sosial, mengkaji aktivitas
mental manusia dalam kaitannya dengan situasi sosial.
c.
Psikologi kepribadian, mengkaji
struktur kepribadian manusia sebagai satu kesatuan utuh.
d.
Psikologi abnormal, mengkaji
aktivitas mental individu yang tergolong abnormal.
e.
Psikologi diferensial, menguraikan
tentang perbedaaan-perbedaan antar individu.
Psikologi khusus kemungkinan akan terus
berkembang sesuai dengan situasi dan kebutuhan. Karena itu tidak tertutup
kemungkinan akan bermunculan cabang-cabang psikologi khusus lainnya, seperti
psikologi perkembangan peserta didik yang akan menjadi fokus dalam pembahasan
makalah ini.
Mengacu pada pengertian dan pembagian
psikologi sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dipahami bahwa psikologi
perkembangan peserta didik adalah bidang kajian psikologi perkembangan peserta
didik adalah bidang kajian psikologi perkembangan yang secara khusus
mempelajari aspek-aspek perkembangan individu yang berada pada tahap sekolah
menengah.”
2.5.2 Manfaat Psikologi Perkembangan Peserta Didik
untuk Memahami Karakteristik Remaja Bagi guru Sekolah Menengah
Sebagaimana telah disebutkan di atas,
psikologi perkembangan peserta didik adalah sebuah disiplin ilmu yang secara
khusus mempelajari tentang perkembangan tingkah peserta didik dalam
interaksinya dengan lingkungan. Oleh sebab itu, banyak manfaat yang akan
diperoleh guru atau calon guru dalam mempelajari perkembangan peserta didik
ini, di antaranya:
1. Dengan pengetahuan tentang perkembangan peserta didik, seorang guru
akan dapat memberikan harapan yang realistis terhadap anak dan remaja. Ini
adalah penting, karena jika terlalu banyak yang diharapkan pada anak usia
tertentu, anak mungkin akan mengembangkan perasaan tidak mampu jika ia tidak
mencapai standar yang ditetapkan orangtua atau guru. Sebaliknya, jika terlalu
sedikit yang diharapkan dari mereka, mereka akan kehilangan rangsangan untuk
lebih mengembangkan kemampuannya. Di samping itu, ia juga akan merasa tidak
senang terhadap orang yang menilai rendah kemampuan mereka. Dari psikologi
perkembangan kita akan mengetahui pada usia berapa anak mulai berbicara dan
kapan anak sekolah mulai mampu berpikir abstrak. Meskipun psikologi
perkembangan hanya memberikan gambaran umum tentang perkembangan anak. Tetapi
bagaimanapun pengetahuan ini akan sangat membantu kita mengetahui apa yang
diharapkan dari kekhasan masing-masing anak secara pribadi.
2. Pengetahuan tentang
perkembangan dapat membantu kita dalam memberikan respons yang tepat terhadap
perilaku tertentu seorang anak. Psikologi perkembangan dapat membantu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan arti dan sumber pola berpikir
perasaan, dan tingkah laku anak.
3. Pengetahuan tentang
perkembangan peserta didik dapat membantu guru mengenali kapan perkembangan
normal yang sesungguhnya dimulai. Dengan pengetahuan tentang perkembangan
normal ini, guru bisa menyusun pedoman dalam bentuk skala tinggi-berat, skala
usia-berat, skala usia-mental, dan skala perkembangan sosial atau emosional.
Karena pola perkembangan untuk semua anak normal hampir sama, ada kemungkinan
untuk mengevaluasi setiap anak menurut norma usia anak tersebut. Jika
perkembangan itu khas, berarti anak itu menyesuaikan diri secara normal
terhadap harapan masyarakat. Sebaliknya, jika terdapat penyimpangan dari pola
yang normal, hal ini dapat dianggap sebagai tanda bahaya adanya penyesuaian
kepribadian, emosional atau sosial yang buruk. Kemudian dapat diambil
langkah-langkah tertentu untuk menemukan penyebab penyimpangan ini dan
menyembuhkannya.
4. Dengan mengetahui pola nornal
perkembangan, memungkinkan para guru untuk sebelumnya mempersiapkan anak
menghadapi perubahan yang akan terjadi pada tubuh, perhatian dan perilakunya.
5. Pengetahuan tentang
perkembangan memungkinkan para guru memberikan bimbingan belajar yang tepat
kepada anak. Bayi yang siap untuk belajar berjalan misalnya, dapat diberikan
kesempatan untuk melakukannya dan dorongan untuk tetap berusaha hingga
kepandaian berjalan dapat dikuasai. Tidak adanya kesempatan dan dorongan akan
menghambat perkembangan yang normal.
6. Studi prkembangan dapat
membantu kita memahami diri sendiri. Melalui psikologi perkembangan kita akan
mendapatkan wawasan dan pemahaman perjalanan hidup kita sendiri (sebagai bayi,
anak, remaja atau dewasa), seperti bagaimana hidup kitta kelak ketika kita
bertumbuh sepanjang tahun-tahun dewasa (sebagai orang dewasa tengah baya,
sebagai orang dewasa tua). Singkatnya, mempelajari psikologi perkembangan akan
memberikan banyak informasi tentang siapa kita, bagaimana kita dapat seperti
ini, dan kemana masa depan akan membawa kita.
Dengan demikian jelas betapa besar kegunaan mempelajari karakteristik
peserta didik atau remaja bagi guru sekolah menengah. Dengan memahami
karakteristik peserta didik atau remaja memungkinkan guru memberikan bantuan
dan pendidikan yang tepat sesuai dengan pola-pola dan tingkat-tingkat
perkembangan anak. Lebih dari itu pengetahuan mengenai karakteristik peserta
didik atau remaja akan dapat menimbulkan kesadaran terhadap diri sendiri,
sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan dengan baik.
KESIMPULAN
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Masa remaja ini sering dianggap sebagai masa peralihan, dimana saat-saat ketika anak tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia belum dapat dikatakan orang dewasa.
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Masa remaja ini sering dianggap sebagai masa peralihan, dimana saat-saat ketika anak tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia belum dapat dikatakan orang dewasa.
Fase-fase masa remaja (pubertas)
menurut Monks dkk (2004) yaitu antara umur 12 – 21 tahun, dengan pembagian
12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 15-18 tahun termasuk masa remaja
pertengahan, 18-21 tahun termasuk masa remaja akhir.
Karakteristik anak remaja bisa
dilihat dalam beberapa aspek, yaitu dari Pertumbuhan fisik, perkembangan
seksual, cara berfikir kausalitas, emosi yang meluap-luap, perkembangan sosial,
perkembangan moral dan perkembangan kepribadian.
Remaja diharapkan lebih mengerti dirinya sendiri dan dimengerti orang lain, sehingga dapat menjalani persiapan masa dewasa dengan lancar. Dengan memanfaatkan semua kesempatan yang tersedia, terbentuklah kepribadian yang terpadu untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan.
Remaja diharapkan lebih mengerti dirinya sendiri dan dimengerti orang lain, sehingga dapat menjalani persiapan masa dewasa dengan lancar. Dengan memanfaatkan semua kesempatan yang tersedia, terbentuklah kepribadian yang terpadu untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. 1991. Psikologi Perkembangan.
Jakarta : Rineka Cipta
Gunarsa, D. 1986. Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : PT. BK Gunung Mulia
Hurlock, E. 1980. Psikologi Perkembangan
: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi ke lima. Jakarta :
Erlangga
Kartono, K. 1979. Psikhologi Anak.
Bandung : Alumni
Monk, dkk. 2002. Psikologi
Perkembangan : pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Yusuf, S. 2004. Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Zulkifli, L.. 1992. Psikologi
Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya
0 komentar:
Posting Komentar