BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat kadang terombang – ambing diantara dua
kecenderungan. Di satu pihak ada yang mau mempertahankan nilai – nilai budaya
lama, di pihak lain ingin mengadakan perubahan atau menciptakan hal – hal baru.
Sepertinya terdapat pergolakan yang tak kunjung reda antara tradisi dan
perubahan yang tentu saja berimplikasi terhadap pendidikan. Berdasarkan apa
yang terjadi di dalam masyarakat sebagai akibat dari pendidikan yang telah
dilaksanakannya dan berlandaskan pada pandangan filsafat tertentu, muncullah
aliran – aliran filsafat atau gerakan – gerakan pendidikan sebagai reaksi
terhadap konsep dan praktik pendidikan yang mendahuluinya yang menawarkan
solusi demi pemecahan masalah yang timbul. Tiap aliran mempunyai pandangan yang
berbeda – beda mengenai pendidikan dalam kaitannya dengan masyarakat dan
kebudayaannya. Sekaitan dengan itu pendidik dan calon pendidik perlu
mengkajinya agar memiliki asumsi filosofis yang jelas tentang peranan
pendidikan dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa sajakah
aliran – aliran filsafat yang terdapat dalam gerakan – gerakan pendidikan?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami berbagai aliran filsafat atau gerakan
pendidikan.
2. Untuk mengetahui filsafat umum setiap aliran dan
implikasinya terhadap pendidikan.
3. Dapat membangun asumsi berpikir dan bertindak dalam
rangka pendidikan.
1.4 Manfaat
1.
Dapat
mengaplikasikan berbagai gerakan pendidikan dalam berbagai aspek pendidikan
saat ini.
2.
Dapat membangun
landasan yang jelas filosofinya berkenaan dengan konsep pendidikan yang
disarankan suatu aliran filsafat tertentu.
3.
Dapat memahami
lebih mudah tentang aliaran pendidikan yang dijalankan sesuai dengan diterapkan
saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Progresivisme
1. Latar
Belakang
Progresivisme
adalah gerakan pendidikan yang dilakukan oleh suatu perkumpulan yang dilandasi
konsep filsafat tertentu dan sangat berpengaruh dalam pendidikan bangsa
Amerrika pada awal abad ke 20. Progresivisme memberikan perlawanan terhadap formalisme
yang berlebihan dan membosankan dari sekolah atau pendidikan yang tradisional.
2. Filsafat pendukung yang
melandasi
Pragmatisme (John
Dewey)
3.
Pandangan
ontologi
a.
Evolusionstis dan
pluralistik
b.
Manusia
Manusia memiliki
intelegensi sebagai alat hidup atau memecah berbagai masalah dalam kehidupan
c.
Pengalaman sebagai
realitas
Pengalaman sebagai
realitas memiliki 4 karakteristik:
1. Spatial : terjadi di tempat tertentu
2. Temporal : berkembang dan berubah
3. Dinamis : bergerak maju
4. Pluralistik : terjadi seluas adanya hubungan antar individu
sehingga pengalaman menjadi beragam
d.
Pengalaman dan pikiran
Pengalaman dan pikiran
merupakan satu kesatuan dalam hidup dalam berbuat praktis. Manusialah yang
berbuat, yang bekerja, dan yang mengatasi masalah.
4. Pandangan epistemologi
a.
Sumber pengetahuan
Sumber pengetahuan
diperoleh melalui pengalaman hidup dalam 2 bentuk, immediate experiennce (pengalaman secara tidak langsung) dan mediate experience (pengalaman secara
langsung)
b.
Kriteria “kebenaran”
Pengetahuan dikatakan
benar bila dapat diverifikasi dan diaplikasikan
c.
Sifat pengetahuan:
relatif dan berubah
Pengetahuan yang telah
ada hari ini harus dipertimbangkan kembali esok hari karena pengetahuan dapat
berubah
5.
Pandangan
aksiologi
a.
Sumber nilai: kondisi
riil manusia/pengalaman
Progresivisme
menafsirkan hakikat nilai (etika) secara empiris, yaitu berdasarkan pengalaman
atau kondisi riil manusia
b.
Sifat nilai: berada
dalam proses, relatif, kondisional, memiliki kualitas sosial dan individual,
serta dinamis
1. Berada
dalam proses :
nilai adalah proses yang diarahkan untuk mencapai tujuan
2. Relatif :
nilai berada dalam situasi dan perbuatan yang beragam
3. Memiliki
kualitas sosial : adanya
keharusan manusia untuk berhubungan dengan orng lain
4. Berkualitas
individual : manusia bebas memilih nilai
sesuai kondisi
5. Dinamis : nilai selalu berubah
dan berkembang
c.
Kriteria nilai: berguna
adalah baik
Sesuatu
yang berguna dan bermakna dalam kehidupan adalah baik
d.
Demokrasi sebagai nilai
Demokrasi
merupakan nilai ideal karena tiap orang memiliki kesempatan untuk berkembang.
6.
Pandangan
tentang pendidikan
a.
Pendidikan
b.
Tujuan pendidikan
c.
Sekolah
d.
Kurikulum: child centered, community centered,
experience centered, flexible, interdisipliner
e.
Metode
f.
Peranan guru dan
peserta didik
2.2
Essensialisme
1.
Latar belakang
dikenal
sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan.
Essensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal – hal yang esensial yaitu
sesutatu yang bersifat inti atau fundamental atau unsur mutlak yang menentukan
keberadaan sesuatu. Essensialisme berkembang dan melakukan gerakan sebagai
protes terhadap progresivisme. Dalam hal pendidikan kedua gerakan tersebut
mempunyai pandangan yang berbeda.
2.
Filsafat
pendukung/ yang melandasi
Essensialisme
didukung atau dilandasi oleh filsafat idealism dan realisme. Idealism dan
realisme secara bersama – sama mendukung essensialisme, tetapi tidak lebur
menjadi satu, masing – masing aliran tidak melepaskan sifat utamanya.
3.
Pandangan
ontologis
Pandangan
ontology essensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia / realitas ini dikuasi
oleh tata/ order tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Tata / order
tersebut menurut realisme dan idealisme yaitu:
a. Ontologi
idealisme : realitas yang hakiki adalah dunia ideal, sedangkan realitas
material hanyalah copy dari realitas ideal. Manusia adalah makro kosmos,segala
yang ada akan terjadi di dunia adalah menurut tata tertentu yang bersumber dari
yang absolute.
b. Ontologi
realisme : realitas bersifat eksternal dan objektif didalam realitas alam
terdapat hukum – hukum objektif ( kausalitas ). Manusia dan masyarakat tunduk
pada hukum – hukum tersebut.
4.
Pandangan
epistemologis
a. Epistemologi
Idealisme : sumber pengetahuan adalah “dari dalam” diri karena manusia
mempunyai ide bawaan. Pengetahuan diperoleh melalui berpikir, intuisi atau
intropeksi.
b. Epistemologi Realisme
: sumber pengetahuan adalah dunia luar subjek. Pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman. Kebenaran pengetahuan diuji melalui teori uji koprespondensi.
5.
Pandangan
aksiologis
a. Aksiologi
idealisme: nilai bersumber dari realitas absolute, nilai bersifat abadi/tidak
berubah.
b. Aksiologi
realisme: nilai bersumber dari hukum alam dan adat istiadat masyarakat.
6.
Pandangan
tentang pendidikan
a.
Pendidikan
Implikasi
dari pandangan diatas maka pendidikan adalah proses konservasi kebudayaan.
Pendidikan adalah persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
b.
Tujuan pendidikan
adalah
mentransmisi kebudayaan, sebab itu sekolah hendaknya berpusat pada
masyarakat.
c.
Sekolah
Sekolah
yang baik adalah sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school”, yaitu sekolah yang mengutamakan
kebutuhan dan minat masyarakat.
d.
Kurikulum
berisi
berbagai pengetahuan dan agama yang dipandang esensial, dan subject matter
centered.
e.
Metode:
mengutamakan
metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental.
f.
Peranan guru dan
peserta didik
Guru
hendaknya berperan sebagai mediator dunia masyarakat/orang dewasa dengan dunia
peserta didik; guru adalah pengambil inisiatif dalam proses pendidikan,
sedangkan peserta didik berperan untuk menyesuaikan diri terhadap nilai – nilai
yang absolute atau terhadap masyarakat dan alam.
2.3 Perenialisme
1.
Latar
belakang
Perenialisme
terkandung dalam magna asal katanya “perenis” (bahasa latin) atau “perenial”
(bahasa inggris) yang berarti tumbuh terus melalui waktu, hidup terus dari
waktu ke waktu atau abadi. Atas dasar itu perenialist memandang pola
perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa
yang pernah ada sebelumnya.
2.
Filsafat
pendukung/yang melandasi
Gagasan
– gagasan perenialisme merupakan integritas antara asas – asas filosofis yunani
klasik dengan asas – asas religius Kristen yang berkembang pada abad
pertengahan. Perenialisme dilandasi atau di dukung oleh filsuf yunani klasik
yaitu Plato dan Aristoteles.
3.
Pandanagn
ontologis
Menurut
perenialisme manusia terutama membutuhkan jaminan bahwa “realitas bersifat
universal – realitas itu ada di manapun dan sama disetiap waktu. Realitas
bersumber dan bertujuan akhir kepada realita supernatural atau tuhan.
4.
Pandangan epistemologi
Sebagai
makhluk berfikir, manusia akan dapat memperoleh pengetahuan tentang diri kita
dan dunia sebagaimana adanya. Memang perenialisme mengakui bahwa impresi atau
kesan melalui pengamatan tentang individual thing adalah pangkal pengertian
tentang kebenaran. Tetapi manusia akan memperoleh pengetahuan lebih tepat jika
bersandar pada asas – asas kepercayaan dan bantuan wahyu; dan itulah
pengetahuan dalam makna tertinggi yang ideal.
5.
Pandangan
aksiologi
Pandangan
tentang hakikat nilai menurut perenialisme adalah pandangan mengenai hal – hal
yang bersifat spiritual. Hal yang absolut atau ideal (TUHAN) adalah sumber
nilai dan oleh karena itu nilai selalu bersifat teologis.
6.
Pandangan
tentang pendidikan
a. Pendidikan
Perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia
sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan
ideal.tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan nilai – nilai kebenaran
yang pasti dan abadi.
b. Tujuan
pendidikan
Adalah membantu peserta
didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nilai – nilai kebenaran yang abadi
agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
c. Sekolah
Merupakan lembaga yang
berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam
kehidupan.
d. Kurikulum
Kurikulum pendidikan
berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform,
universal, dan abadi, selain itu materi pelajaran harus terarah kepada
pembentukan rasionalitas manusia.
e. Metode
Metode pendidikan yang
digunakan oleh perenialist adalah membaca dan diskusi yaitu membaca dan
mendiskusikan karya – karya besar yang tertuang dalam The Great Books dalam
rangka mendisiplinkan pikiran.
f. Peranan
guru dan peserta didik
Peranan guru bukan
sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak melainkan guru juga sebagai
murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar
2.4 Kontruktivisme
1.
Latar
Belakang
Kontruktivisme adalah aliran
filsafat yang berkenaan dengan hakikat pengetahuan yang berimplikasi terhadap
pendidikan khususnya dalam bidang sains dan matematika. Kontruktivisme terbagi
menjadi 3 jenis, yaitu :
a)
Kontruktivisme
Psikologis Personal yang menekankan pribadi
(subjek) sendirilah yang mengkonstruksikan pengetahuan
b) Kontruktivisme
Sosiologis yang menekankan masyarakat
sebagai pembentuk pengetahuan
c)
Sosiokulturalisme yang
mengakui baik peranan akif personal
maupun masyarakat dan lingkungan dalam pembentukan pebgetahuan
Dewasa ini masyarakat mengalami
suatu pergeseran paradigma dengan mulai menerima paradigm kontruktivisme, hal
ini dikemukakan oleh Tobin, Tippin, dan Gallard (1994). Suatu missal jika
paradigma lama menyatakan bahwa pengetahuan adlah suatu faktayang dapat
ditransfer dari guru kepada siswa, berbeda halnya dengan paradigm baru
(kontruktivisme) yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan
orang yang bersangkutan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa paradigm
kontruktivisme lebih menuju ke pembelajaran yang lebih kompleks dari sekedar
transfer ilmu pengetahuan, dengan begitu siswa belajar sains dan matematika
dengan cara yang berarti, memperkaya, dan memungkinkan mereka
menginterpretasikan alam semesta ini dalam pengertian ilmiah.
2.
Filsafat
yang mendukung / yang Melandasi
Von Glaserferld (1988) mengemukakan
bahwa pengertian kontruktivisme kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan
Mark Baldwin yang diperdalam disebarkan oleh Jean Piaget. Akan tetapi, gagasan
pokok Kontruktivisme yang merupakan cikal bakal munculnya kontruktivisme
sesungguhnya sudah dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistemology dari
Italaia.
Vico (1710) dalam karyanya De Antiquissima Itolarum Sapienta
mengungkapkan dalam filsafatnya “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaan”. Menurut Vico, hanya Tuhan yang dapat mengerti alam
raya ini, sebab hanya Dia ang tahu bagaimana dan dari apa Ia membuatnya.
Sedangkan manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya,
manusia hanya mengetahui bahwa alam semesta yang mereka tempati adalah ciptaan
Tuhan. Berbeda dengan empirisme yang menatakan bahwa pengetahuan itu harus
menunjuk kepada kenyataan luar (obyektif), Vico berpendapat bahwa pengetahuan
tidak lepas dari (subjekz) yang tahu . Atas dasar gagasan “mengetahui sesuatu”
dengan “membuat sesuatu” , Vico membedakan tingkat pengetahuan.
Rorty menilai Kontruktivisme
sebagai salah satu bentuk Pragmatisme, terlebih dalam hal pengetahuan dan
kebenaran, sebab Kontruktivisme hanya mementingkan berlakunya suatu konsepatau
dapat digunakannya suatu konsep. Para kotruktivis sekarang melihat kesesuaian
gagasan Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti
pengalaman/fenomena baru (paul Supano, 1997). Kontrukivisme tampaknya
dipengaruhi oleh Empirisme dan Pragmatisme.
3.
Pandangan
Ontologi
Konstruktivisme menolak adanya pandangan
Objektivisme (empirisme) yang menyatakan bahwa realitas itu ada terlepas dari pengamat
dan dapat diketahui melalui pengalaman atu langkah-langkah sistematis tertentu.
Demikian pula menolak pandangan idealisme.
Menurut
Konstruktivisme, manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya
secara Ontologis. Hal yang dapat kita mengerti adalah struktur Konstruksi kita
akan suatu objek (Shapiro, 1994). Konstruktivisme memang tidak bertujuan mengerti realitas tetpai
lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Dengan kata lain
bahwa “realitas” bagi Konstruktivisme “tidak pernah ada secara terpisah dari
pengamat”. Bagi Jean Piaget, misalnya “kenyataan (realitas) bukanlah sesuatu
yang eksternal dan sudah jadi, bukan predeterminasi melainkan diperoleh melalui
kegiatan Konstruksi yang menghasilkan skemata baru (Staver 1996). Sebagaimana
dikemukakan Shapiro, terdapat banyak bentuk kenyataan dan masing-masing
tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati.
Konstruktivisme
memandang manusia bukanlah sebagai tabula
rasa sebagaimana pandangan empirisme (John Lock) melainkan manusia dituntut
aktif membangun sendiri pengetahuannya. Eksistensi dan atau proses menjadi
manusia ada dalam konteks interelasi dengan lingkungannya, baik lingkungan
alamiah maupun manusisawi (Paul Suparno, 1997).
4.
Pandangan
Epistemologi
a. Sumber pengetahuan
Bagi
penganut empirisme (misalnya Aristoteles, John Locke), sumber pengetahuan
adalah “dunia luar” semua pengetahuan ditrunkan dari pengalaman atau observasi
di atas alam semesta. Sedangkan nativisme mengklaim bahwa sumber pengetahuan
adala “dari dalam”. Sedangkan bagi Konstruktivisme sumber pengetahuan itu
berasal daru dunia luar tetapi dikonstruksikan dari dalam dari individu.
Bagi
Konstruktivis pengetahuan bukanlah suatu gambaran dunia kenyataan yang ada,
melainkan adalah hasil konstruksi atau bentukan kenyataan melalui kegiatan
subjek. Sebagaimana dikemukakan Piaget (1971) pengetahuan bukanlah dunia lepas
dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari
pengalaman atau dunia sejauh dialaminya.
b. Kriteria Kebenaran
Bagi
Konstruktivis, kebenaran pengetahuan diletakkan pada viabilitas.
c. Sifat Pengetahuan
Sehubungan
dengan hubungan di atas maka pengetahuan memiliki sifat subjektif, pengetahuan
tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada orang lain,
pengetahuan bukan barang mati yang sekaligus jadi, pengetahuan bersifat
relatif.
5.
Pandangan Tentang Pendidikan
a.
Pendidikan (mengajar)
Dalam
Konstruktivisme istilah pendidikan lebih diartikan sebagai mengajar. Mengajar
berarti partisipasi dengan pelajar dalam mengontruksi pengetahuan, membuat
makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Dalam kegiatan mengajar penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan
dialog secara kritis perlu dikembangkan. Selain itu perlu diperhatikan pula
bahwa mengajar juga adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan
teknik, melainkan juga intuisi (Paul Suparno, 1997).
b.
Tujuan pendidikan (pengajaran)
Tujuan
pengajaran kontruksivisme lebih menekankan pada perkembangan konsep dan
pengertian (pengetahuan) yang mendalam sebagai hasil kontruksi aktif si pelajar
(Fosnot, 1996). Ini berbeda dengan Behaviorisme
yang menekankan keterampilan sebagai tujuan pengajaran. Berbeda pula
dengan Maturasionisme yang lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai
dengan langkah-langkah perkembangan individu.
c.
Kurikulum
Driver
dan Oldham (matthews, 1994) menyatakan bahwa perenca kurikulum konstruktivis
tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif
dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru kepada murid.
Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill),
melainkan lebih sebagai program aktivitas di mana pengetahuan dan keterampilan
dapat dikonstruksikan.
d.
Metode
Setiap
pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti karena itu mereka perlu
menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks
ini, tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode mengajar saja tidak
akan banyak membantu pelajar belajar.
e.
Peranan guru dan peserta didik
Dalam
kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator dan fasilitator yang
membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Dalam artian
ini, guru dan peserta didik atau pelajar lebih sebagai mitra yang bersama-sama
membangun pengetahuannya.
Adapun
peserta didik dituntut aktif belajar dalam rangka mengonstruksikan
pengetahuannya, dan karena itu peserta didik sendirilah yang harus bertanggung
jawab atas hasil belajarnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Dalam dunia pendidikan tidak hanya
terdapat unsur – unsur pendidikan, landasan pendidikan tetapi dalam hal ini
yang paling penting adalah adanya gerakan – gerakan dalam pendidikan. Gerakan
tersebut menjelaskan permasalahan tentang latar belakang, filsafat pendukung,
asumsi – asumsi fisafat umumnya, dan konsep pendidikan.
3.1.2 Gerakan –
gerakan pendidikan tersebut terdiri dari progresivisme, essensialisme,
perenialisme, dan konstruktivisme.
3.1.3
Walaupun tiap
gerakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing tetapi gerakan
tersebut mendukung pendidikan dan berusaha saling melengkapi satu dengan yang
lainnya.
3.2 Saran
Adapun saran dari kami tentang
pembuatan makalah
pengantar ilmu pendidikan ini adalah:
3.2.1
Kami mengharapkan pembuatan makalah
ini dapat di lakukan oleh semua orang, sebab dari materi ini pesan yang disampaikan sangat jelas terutama bagi
perkembangan pendidikan khususnya tentang gerakan – gerakan pendidikan itu
sendiri.
3.2.2. Kami mengharapkan
kritik atau saran dari pembaca makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Barnadib, I.
(1984). Filsafat Pendidikan (Pengantar mengenai Sistem dan
Metode).
Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP Yogyakarta.
Henderson, S.
van P. Introduction to Phylosophy of
Education. Chicago:
The University of Chicago Press.
Kneller, G.,
(Ed). (1987). Foundation of Education.
New York: John Wiley
and Sons.
Noor, M., (Ed).
(1987). Filsafat dan Teori Pendidikan:
Jilid 1 Filsafat
Pendidikan.
SubKoordinator Mata Kuliah Filsafat Dn Teori
Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu
Pendidikan, IKIP Bandung.
Syam, M. N.
(1984). Filsafat Pendidikan dan Dasar
Filsafat Pendidikan
Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional.
Suparno, P.
(1997). Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Titus, H. H. Living Issues in Phylosophy. New York:
American Book
Company.
0 komentar:
Posting Komentar